SUARARAKYAT.info|| Indragiri Hilir — Dugaan permainan kotor kembali menyeruak di balik pengelolaan lahan sitaan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau. Lahan seluas 256 hektar yang sebelumnya telah disita negara dari perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Bumipalma Lestari Persada, anak perusahaan raksasa agribisnis PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART), kini diduga kembali dikelola oleh pihak perusahaan melalui skema Kerja Sama Operasional (KSO) yang merugikan masyarakat tempatan.Jumat (17/10/2025)
Berdasarkan penelusuran awak media di lapangan, lahan sitaan tersebut berada di wilayah Desa Bagan Jaya, Kecamatan Enok, Kabupaten Indragiri Hilir. Dari hasil observasi dan keterangan warga sekitar, benar ditemukan areal perkebunan sawit milik PT Bumipalma Lestari Persada yang sebelumnya telah disita oleh tim Satgas PKH.
Namun, yang mencurigakan, lahan yang sudah disita itu kini kembali digarap dengan pola kemitraan antara pihak Agrinas Palma Nusantara (Persero) dan perusahaan yang justru pernah menjadi pelanggar. Skema kerja sama ini dinilai masyarakat sebagai bentuk “pemutihan terselubung” terhadap perusahaan yang sebelumnya telah menyalahi aturan dan merambah kawasan hutan tanpa izin.
Padahal, pembentukan Satgas PKH oleh pemerintah memiliki mandat yang sangat jelas: menertibkan kawasan hutan, memberantas perkebunan ilegal, dan mengembalikan penguasaan lahan kepada negara untuk kepentingan rakyat.
Satgas PKH bukanlah alat kompromi untuk menormalkan kembali aktivitas perusahaan-perusahaan besar yang telah melanggar hukum.
Dalam banyak kesempatan, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa tanah dan sumber daya yang disita negara harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tempatan, bukan untuk memperkaya korporasi besar.
Namun, fakta di lapangan justru memperlihatkan hal sebaliknya. Lahan yang sudah seharusnya dikelola untuk rakyat malah kembali dikendalikan oleh perusahaan lama dengan kedok kemitraan. Ironisnya, masyarakat lokal yang seharusnya menjadi penerima manfaat justru tersingkir dan tidak dilibatkan secara transparan dalam pengelolaan lahan tersebut.
Menurut beberapa sumber di lapangan, bentuk kemitraan yang dilakukan perusahaan dan Agrinas diduga hanya sebatas formalitas di atas kertas. Masyarakat tidak memperoleh hak kelola maupun hasil produksi secara adil.
“Katanya kemitraan untuk rakyat, tapi nyatanya masyarakat hanya jadi penonton. Semua alat berat, bibit, sampai hasil panen tetap dikendalikan perusahaan,” ujar salah satu warga Desa Bagan Jaya yang enggan disebut namanya.
Hal ini memperkuat dugaan adanya permainan di tingkat elit perusahaan dan oknum di instansi terkait yang memanfaatkan kebijakan penertiban lahan untuk kepentingan tertentu. Kembalinya perusahaan pelanggar ke lahan sitaan negara jelas bertentangan dengan semangat penegakan hukum dan etika tata kelola yang bersih.
Aktivis lingkungan dan pegiat agraria di Riau mendesak pemerintah pusat untuk segera turun tangan menelusuri dugaan praktik permainan dalam pengelolaan lahan sitaan ini.
Mereka menilai jika benar ada pengembalian lahan kepada perusahaan pelanggar, maka itu merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan agraria dan tujuan reformasi perkebunan nasional.
“Lahan sitaan seharusnya dikelola untuk kepentingan publik bisa melalui koperasi rakyat, BUMDes, atau skema redistribusi tanah. Kalau malah dikembalikan ke perusahaan yang sudah jelas-jelas melanggar, itu bukan penegakan hukum, tapi pengkhianatan terhadap rakyat,” tegas seorang pemerhati agraria di Pekanbaru.
Kasus di Inhil ini menjadi cermin dari masih lemahnya sistem pengawasan terhadap pengelolaan lahan sitaan. Kementerian terkait, terutama KLHK, BUMN, dan Satgas PKH, dituntut membuka secara transparan siapa yang sebenarnya mengelola lahan tersebut dan seperti apa perjanjian kerja samanya.
Tanpa transparansi dan pengawasan publik, skema kemitraan seperti ini hanya akan menjadi alat baru bagi oligarki untuk menguasai kembali lahan yang seharusnya menjadi milik rakyat.
Catatan Redaksi:
Kasus dugaan permainan KSO di lahan sitaan Satgas PKH Inhil ini menunjukkan bagaimana semangat reformasi agraria dan penegakan hukum masih bisa dibelokkan oleh kepentingan korporasi besar. Masyarakat menanti ketegasan pemerintah dalam memastikan bahwa setiap jengkal tanah sitaan negara benar-benar kembali untuk rakyat, bukan untuk pemain lama dalam baju baru.
(Tim)