Ketika Camat Cipatujah Lebih Sibuk Membalas WA Diri Sendiri

  • Bagikan

SUARARAKYAT.info||Editorial — Seorang camat di selatan Tasikmalaya mendadak viral. Bukan karena gebrakan program, bukan pula karena inovasi pelayanan publik. Ia terkenal hanya karena prestasi sunyi dengan tidak membalas pesan wartawan Senior.kamis (9/10/2025)

Entah sedang sibuk menata hati atau menata meja kerja yang baru, publik belum tahu. Yang pasti, sinyal WhatsApp wartawan sudah centang dua. Dan di negeri yang katanya menjunjung transparansi informasi, diam rupanya masih jadi jurus andalan sebagian pejabat.

Camat Cipatujah ini tampaknya tengah melakukan eksperimen sosial. Ia menguji ketahanan wartawan terhadap keheningan birokrasi. Ujiannya sederhana: “Seberapa lama Pers bisa bersabar tanpa jawaban?”

Sayangnya, eksperimen ini gagal sejak awal, karena yang diuji justru sudah terbiasa menghadapi pejabat alergi konfirmasi.

Padahal, seorang camat bukan penjaga rahasia negara. Ia hanya kepala wilayah yang semestinya terbuka seperti warung kopi di pinggir jalan, siapa pun boleh mampir, asal sopan. Tapi barangkali bagi sang camat, wartawan dianggap pelanggan yang terlalu cerewet.

Mungkin beliau lupa, jabatan camat bukan gelar bangsawan yang minta dijaga jarak. Itu amanah publik, bukan panggung pribadi. Dan di tengah era digital yang menuntut transparansi, pejabat yang menutup diri sama halnya dengan menulis surat cinta di amplop kosong, tidak akan sampai ke siapa-siapa.

Kita maklum, jabatan baru sering membuat seseorang kikuk. Namun, bukankah salah satu pelajaran dasar kepemimpinan adalah komunikasi? Atau mungkin, pelajaran itu sedang diulang kelas di Cipatujah.

Dalam UU Keterbukaan Informasi Publik, pejabat diwajibkan memberi akses terhadap informasi. Tapi mungkin pasal itu sedang tak sempat dibaca karena sibuk menonaktifkan notifikasi pesan. Bahkan mungkin Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang seharusnya ada di kecamatan itu hanya keharusan dari UU KIP tanpa aplikasi dan realisasi.

Yang menarik, wartawan yang diabaikan bukan sembarang wartawan, melainkan Ikin Roki’in, wartawan senior sekaligus Ketua Umum PPRI Indonesia. Kalau level Ikin saja tak dibalas, bagaimana nasib jurnalis lokal yang baru belajar menulis lead berita?

Kita tidak menuntut camat menjadi public relations profesional. Cukup menjadi pejabat yang tahu membalas pesan, atau minimal, tahu berkata “sedang rapat” dengan sopan. Itu sudah cukup menunjukkan bahwa ia punya kesadaran etis, bukan ego birokratis.

Tapi, mungkin kita memang sedang hidup di sebuah zaman dimana diam dianggap bijak dan tertutup dianggap elegan. Seakan-akan pejabat yang tidak menjawab wartawan sedang menjalankan program unggulan: komunikasi tanpa kata.

Padahal, dalam pemerintahan yang sehat, keterbukaan adalah vitamin, bukan racun. Wartawan bukan hama yang harus dihindari, melainkan pupuk bagi demokrasi.

Camat Cipatujah boleh saja memilih diam, tapi publik akan tetap bersuara. Sebab tugas media bukan menunggu sapaan pejabat, melainkan mengingatkan bahwa setiap jabatan ada tanggung jawabnya, dan setiap tanggung jawab menuntut transparansi.

Kalau ke depan Camat Cipatujah masih enggan merespons, mungkin PPRI perlu menyarankan inovasi baru: buat posko aduan sunyi, tempat rakyat bisa mengirim pesan tanpa berharap dapat balasan dari pejabat.

Sampai saat itu tiba, biarlah masyarakat menilai sendiri: siapa yang sebenarnya perlu dibina, wartawan yang bertanya, atau pejabat yang tak mau menjawab?

(Didi Sukardi, Sekjend PPRI)

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *