Guru Perempuan: Pilar Perubahan dan Penentu Arah Pembangunan Daerah Menuju Indonesia Emas 2045

  • Bagikan

SUARARAKYAT.info|| Sukabumi-Perempuan dan pendidikan adalah dua kekuatan besar yang menentukan masa depan bangsa. Ketika seorang perempuan berpendidikan, maka bukan hanya dirinya yang terangkat, tetapi juga keluarganya, lingkungannya, bahkan bangsanya. Di balik cita-cita besar Indonesia menuju Indonesia Emas 2045, tersimpan peran penting guru perempuan sosok yang tak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membangun karakter, menanamkan nilai, dan menyalakan harapan di tengah masyarakat.mimggu (5/10/2025)

Indonesia hari ini masih bergulat dengan tantangan besar berupa ketimpangan ekonomi dan sosial. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, tingkat kemiskinan nasional tercatat 8,47 persen, turun tipis dari 8,57 persen pada September 2024. Jumlah penduduk miskin juga menurun menjadi sekitar 23,85 juta orang.

Namun, jika ditelisik lebih dalam, data tersebut memperlihatkan dinamika yang menarik. Persentase penduduk miskin di perkotaan justru meningkat menjadi 6,73 persen, naik dari 6,66 persen pada periode sebelumnya. Sementara di perdesaan, angkanya turun menjadi 11,03 persen.

Kenaikan angka kemiskinan di perkotaan menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan kini tidak hanya berakar pada ekonomi, tetapi juga faktor kultural dan struktural seperti kesenjangan pendidikan, akses pekerjaan, serta kualitas sumber daya manusia yang belum merata antarwilayah. Dengan demikian, pembangunan daerah tidak cukup hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, melainkan harus menyentuh aspek pendidikan dan pemberdayaan manusia.

Pendidikan sejak lama diakui sebagai sarana paling efektif untuk mengangkat martabat manusia. Nelson Mandela pernah berkata, “Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan pendidikan Anda dapat mengubah dunia.”

Pendidikan bukan hanya proses mentransfer pengetahuan, melainkan juga proses pembentukan kesadaran dan kemandirian. Di sinilah letak kekuatannya. Bangsa yang cerdas akan lebih mampu membaca peluang, mengelola sumber daya, dan menciptakan inovasi untuk kesejahteraan bersama.

Amanat Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menegaskan bahwa tujuan bernegara salah satunya adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Artinya, pendidikan bukan sekadar urusan teknis, melainkan misi ideologis dan moral bagi Indonesia.

Namun, di lapangan, realitas masih jauh dari cita-cita. Di berbagai daerah, terutama wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), fasilitas pendidikan masih minim. Banyak sekolah berdinding papan, kekurangan buku, bahkan tidak memiliki akses internet yang memadai. Di sinilah peran guru menjadi penentu, terutama guru perempuan yang sering kali harus mengajar di tengah keterbatasan sambil tetap mengurus keluarga.

Pepatah Arab menyebut, “Al-ummu madrasatul ula” ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Dari seorang perempuan, lahir peradaban. Ia mengajarkan bahasa, menanamkan moral, dan membentuk karakter generasi penerus. Karena itu, guru perempuan sejatinya adalah perpanjangan tangan dari peran ibu dalam konteks sosial yang lebih luas.

Menjadi guru perempuan tidak sekadar profesi; ia adalah panggilan kemanusiaan. Guru perempuan tidak hanya mengajar membaca dan berhitung, tetapi juga mendidik hati, membimbing akhlak, dan menanamkan nilai kejujuran, kerja keras, serta kasih sayang. Di tengah arus globalisasi yang cepat dan tantangan teknologi yang besar, guru perempuan memiliki posisi strategis sebagai penjaga moralitas generasi bangsa.

Kualitas sebuah bangsa dapat diukur dari kualitas pendidiknya. Jepang memberi contoh berharga. Setelah kehancuran Hiroshima dan Nagasaki pada 1945, yang paling dikhawatirkan bangsa itu bukanlah rusaknya bangunan atau hilangnya harta benda, melainkan hilangnya guru. Karena mereka percaya, selama masih ada guru, bangsa masih punya masa depan. Kini, Jepang menjadi negara maju karena memuliakan guru sebagai fondasi peradaban.

Di Indonesia, peran guru perempuan kerap menghadapi dua tantangan sekaligus struktural dan kultural.

Secara struktural, banyak guru perempuan yang belum mendapat kesejahteraan layak, apalagi di daerah terpencil. Masih banyak guru honorer yang menerima gaji di bawah standar, bahkan di bawah upah minimum daerah. Secara kultural, perempuan kadang dihadapkan pada stereotip sosial bahwa mereka harus memilih antara karier dan keluarga, padahal keduanya bisa berjalan selaras.

Namun, di balik keterbatasan itu, justru tampak keteguhan hati luar biasa. Banyak guru perempuan di pelosok yang rela berjalan kaki berjam-jam melewati bukit dan sungai demi mengajar anak-anak. Ada yang mendirikan kelas darurat di rumah sendiri, ada pula yang menggunakan ponsel pribadi untuk mengajar daring di masa pandemi. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang nyata.

Menuju Indonesia Emas 2045, tantangan terbesar bukan hanya memperluas akses pendidikan, tetapi juga meningkatkan kualitas literasi digital. Dunia pendidikan kini bergerak menuju transformasi digital, di mana proses belajar mengajar menuntut kemampuan adaptasi terhadap teknologi.

Guru perempuan harus memiliki kompetensi dalam literasi digital, literasi informasi, dan literasi media. Mereka perlu memahami cara mengelola pembelajaran berbasis teknologi, memanfaatkan platform daring, serta menanamkan nilai kritis terhadap informasi digital kepada peserta didik.

Selain itu, guru perempuan juga memiliki peran strategis dalam pendidikan karakter digital—mengajarkan etika bermedia sosial, melawan hoaks, serta menumbuhkan kesadaran tentang tanggung jawab digital. Inilah bentuk baru dari pengabdian guru perempuan di era modern: pendidik sekaligus pelindung nilai di dunia maya.

Pembangunan daerah sejati bukan hanya membangun jalan, jembatan, dan gedung pemerintahan, tetapi membangun manusia yang berpikir kritis dan berjiwa sosial. Guru perempuan berperan penting dalam proses ini, karena mereka bersentuhan langsung dengan masyarakat di akar rumput.

Dengan menjadi pendidik, pendamping komunitas, hingga agen literasi, guru perempuan mampu menggerakkan kesadaran kolektif masyarakat untuk maju bersama. Mereka bisa menjadi motor perubahan sosial, memperkuat solidaritas warga, dan membangun budaya belajar di tingkat lokal.

Pemerintah daerah perlu melihat guru perempuan bukan hanya sebagai tenaga pendidik, tetapi juga mitra strategis pembangunan. Program pelatihan, beasiswa, dan dukungan kesejahteraan bagi guru perempuan harus menjadi prioritas agar mereka dapat berperan maksimal dalam mencetak generasi unggul.

Penutup: Menuju Indonesia Emas 2045, Dari Kelas-Kelas Kecil di Pelosok Negeri

Cita-cita besar Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi kenyataan jika bangsa ini mampu melahirkan generasi cerdas, berkarakter, dan berdaya saing. Dan itu semua bermula dari ruang-ruang kelas kecil di pelosok negeridi mana seorang guru perempuan menulis masa depan bangsa di papan tulis sederhana.

Mereka adalah penjaga cahaya di tengah gelapnya keterbatasan. Mereka adalah arsitek kemanusiaan yang membangun bangsa dari dasar. Maka, menghormati dan memberdayakan guru perempuan berarti menyemai peradaban dan menegakkan martabat bangsa.

Karena sejatinya, di tangan perempuan yang cerdas, berani, dan berjiwa pendidiklah, arah pembangunan daerah akan menemukan pijakannya yang paling kokoh menuju Indonesia Emas 2045 Indonesia yang berdaulat, maju, dan berkeadilan.

Sumber: Hanna Fitri Raziah
Asal (Kader HMI Cabang Sukabumi)

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *