Suararakyat.info.Teluk Kuantan, Riau – Dua buruh harian lepas asal Nias Selatan, Faazi Laia alias Pak Ipe dan adiknya Faatulo Laia, kini terjerat dalam pusaran hukum atas tuduhan perambahan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Pangkalan Indarung, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Ironisnya, mereka hanyalah pekerja yang diperintah, bukan pemilik lahan ataupun pengambil keuntungan utama.
Keduanya ditangkap oleh pihak kepolisian pada 4 Februari 2025 lalu saat tengah bekerja membersihkan lahan sawit di kawasan tersebut. Lahan tersebut, menurut aparat penegak hukum, masih termasuk dalam wilayah kawasan hutan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa wilayah tersebut telah lama berubah fungsi menjadi kebun sawit aktif.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Teluk Kuantan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut keduanya dengan hukuman 9 bulan penjara dan denda sebesar Rp100 juta. Padahal, bukti-bukti yang terungkap dalam proses persidangan justru menunjukkan bahwa mereka bekerja atas perintah seorang pria bernama Rian Rofizal, yang kini justru berstatus sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO).
Dijebak Sistem, Dikorbankan Oleh Dalang yang Menghilang
Rian Rofizal diketahui merupakan pihak yang memperkerjakan kedua terdakwa untuk merawat kebun sawit yang berdiri di atas lahan bermasalah tersebut. Anehnya, setelah penangkapan Faazi dan Faatulo, Rian justru menghilang dan hingga kini belum berhasil ditangkap pihak berwenang. Nama Rian pun akhirnya masuk dalam DPO, namun kejanggalan demi kejanggalan terus bermunculan.
Ahmad Fathony, SH, seorang pemerhati kasus hukum dan lingkungan hidup di Kuansing, menduga adanya praktik suap dalam penanganan kasus ini.
“Kami menerima banyak informasi tentang dugaan suap dalam kasus ini. Jika terbukti, kami akan melaporkannya ke Propam Polda Riau,” tegas Fathony.
Lebih lanjut, Fathony mengungkap bahwa indikasi suap ini mengarah pada Rian Rofizal, yang diduga menyetor sejumlah uang kepada oknum tertentu untuk menghindar dari jerat hukum.
“Jumlah uang yang beredar disebut mencapai ratusan juta rupiah, meski ini masih perlu pembuktian lebih lanjut,” jelasnya.
DPO Tapi Masih ‘Trabas’ Bebas
Keanehan semakin mencuat ketika laporan terbaru yang diterima pada Sabtu (12/7/2025) menyebutkan bahwa Rian, yang berstatus buronan, masih bebas berkeliaran dan bahkan ikut serta dalam kegiatan komunitas motor trail alias “trabas”.
“Infonya dia sempat kabur ke Batam, ada keluarganya di sana. Terus ke Singapura, sekarang sudah balik. Bolak-balik ke rumah mamak dan istrinya di Serosa,” ungkap seorang narasumber yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Dugaan keberadaan Rian bahkan diperkuat oleh hasil investigasi yang dilakukan oleh pihak keluarga dan rekan-rekan terdakwa. Disebutkan bahwa Rian masih sering terlihat di rumah istrinya pada malam hari.
Pekerja Miskin Jadi Korban, Dalang Belum Ditangkap
Kuasa hukum kedua terdakwa, H. Agus Margodono, dengan tegas menyatakan bahwa kliennya tidak memiliki niat jahat atau kesadaran bahwa mereka bekerja di kawasan hutan.
“Mereka hanya buruh yang dipekerjakan untuk membersihkan semak belukar di kebun sawit. Mereka tidak tahu bahwa kawasan itu termasuk HPT, dan itu pun bukan lagi hutan karena sudah lama berubah fungsi,” kata Agus.
Dalam nota pembelaannya (pledoi) pada sidang 3 Juli 2025, Agus menyoroti latar belakang sosial dan ekonomi kedua terdakwa. Faazi Laia diketahui memiliki seorang istri dan enam anak yang semuanya masih bersekolah, sementara adiknya Faatulo juga merupakan tulang punggung keluarga dengan lima anak yang kini terancam putus sekolah.
“Menjatuhkan hukuman kepada mereka justru memperpanjang penderitaan keluarga yang tidak tahu apa-apa. Ini bukan hanya persoalan hukum, ini soal keadilan sosial,” tegas Agus.
Tangis Keluarga yang Tak Didengar Negara
Di tengah persidangan dan jeratan hukum yang menimpa suaminya, istri Faazi mengungkapkan kesedihannya dalam bahasa Nias yang kemudian diterjemahkan oleh anggota keluarga. Ia berharap suaminya dibebaskan dan bisa kembali bekerja untuk menafkahi anak-anak mereka.
“Kami hanya ingin suami kami pulang dan anak-anak bisa kembali sekolah. Tolong tangkap orang yang menyuruh suami saya bekerja dan cari tahu siapa pemilik kebun sawit itu,” ucapnya dengan suara terbata-bata.
Kemana Arah Keadilan?
Kasus ini mencerminkan betapa hukum kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Dua buruh miskin dijadikan tumbal sistem yang tidak adil, sementara aktor utama yang memerintah dan mendapatkan keuntungan justru masih bebas berkeliaran.
Sudah saatnya aparat penegak hukum bergerak lebih serius menuntaskan kasus ini secara menyeluruh. Bukan hanya menghukum orang kecil, tapi juga menyeret para pengendali dan pemilik modal di balik alih fungsi kawasan hutan menjadi kebun sawit ilegal.
Publik kini menanti keberanian institusi hukum dalam menjawab keadilan. Apakah benar hukum akan berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan? Ataukah kembali tunduk pada uang dan kekuasaan?
(Athia)















