Suararakyat.info.Jakarta – Di tengah hiruk-pikuk panggung politik nasional, narasi “pemimpin merakyat” kembali dijual dengan murah dalam baliho-baliho dan kampanye media sosial. Mulai dari blusukan ke pasar tradisional hingga makan di warung pinggir jalan, citra kesederhanaan dijadikan alat untuk meraih simpati publik. Namun, pertanyaannya: apakah kedekatan ini sungguh mencerminkan substansi demokrasi, atau hanya kemasan populis yang menutupi watak otoriter kekuasaan?
Fenomena ini bukan hal baru. Menurut Marcus Mietzner (2015) dalam studinya tentang populisme di Indonesia, gaya “merakyat” sering digunakan sebagai alat mobilisasi politik, tetapi kerap tidak diiringi oleh komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi deliberatif dan akuntabilitas. Alih-alih memperkuat partisipasi publik, gaya ini justru bisa mereduksi rakyat menjadi sekadar penonton dalam proses politik.
Contoh nyata bisa dilihat dalam pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020 yang diprotes luas oleh masyarakat sipil karena dinilai minim partisipasi dan transparansi. Di saat yang sama, figur-figur pemimpin yang mengklaim diri “dekat dengan rakyat” justru bersikap defensif dan antikritik. Lembaga seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan KontraS menyoroti kecenderungan represi terhadap aktivis dan pelajar yang mengkritik UU tersebut (Komnas HAM, 2021).
Pengamat politik dari Universitas Nasional, Dr. Irwan Sihombing, menegaskan bahwa pemimpin merakyat sejati tidak cukup ditentukan dari seberapa sering mereka turun ke pasar atau menyapa warga lewat media sosial. “Esensi demokrasi adalah pelibatan rakyat dalam pengambilan keputusan dan keberanian menerima kritik. Tanpa itu, semua pencitraan hanyalah topeng kekuasaan,” ujarnya dalam diskusi publik “Demokrasi dan Populisme” (Jakarta, 2023).
Lebih lanjut, laporan International IDEA (2022) menyebutkan bahwa Indonesia mengalami regresi demokrasi akibat konsentrasi kekuasaan eksekutif dan lemahnya peran oposisi. Ini menjadi indikasi bahwa gaya merakyat sering kali tidak berbanding lurus dengan konsistensi kebijakan yang pro-rakyat.
Demokrasi sejati tidak lahir dari pencitraan, tetapi dari keberanian membuka ruang dialog, memperkuat institusi, dan memastikan kebijakan berpihak pada rakyat, bukan oligarki. Jika gaya merakyat hanya menjadi strategi pemasaran politik, maka yang lahir adalah demokrasi semu—di mana rakyat hanya dijadikan latar belakang dalam drama kekuasaan.
Kini saatnya publik lebih kritis terhadap gaya kepemimpinan populis. Pemimpin sejati bukan yang tampil sederhana, tetapi yang mengabdi secara substansial melalui kebijakan yang adil, transparan, dan partisipatif.
(Red)
Referensi:
1. Mietzner, M. (2015). Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia. East-West Center
2. Komnas HAM. (2021). Laporan Tahunan Pelanggaran Hak Sipil dan Politik. Jakarta.
3. International IDEA. (2022). The Global State of Democracy Report: Forging Social Contracts in a Time of Discontent.
4. Diskusi Publik “Demokrasi dan Populisme”, Universitas Nasional, 2023.
Merakyat Tapi Palsu: Ketika Gaya Kepemimpinan Menyembunyikan Wajah Asli Kekuasaan







