Suararakyat info. Sukabumi –Kasus dugaan pungutan liar dalam program bantuan perahu di wilayah pesisir Ciemas, Kabupaten Sukabumi, kini menuai sorotan tajam. Alih-alih mendapat bantuan yang dijanjikan, dua nelayan justru harus menanggung beban finansial dan tekanan psikis akibat proses yang penuh kejanggalan.
Nuryaman dan Dihan, dua nelayan dari pesisir selatan Sukabumi, mengaku diminta membayar uang sebagai “syarat administratif” agar dapat mengakses bantuan perahu dari pemerintah. Permintaan tersebut berasal dari oknum aparatur desa, termasuk Kepala Desa Ajat, yang disebut langsung menerima sebagian dana tersebut.
“Awalnya kami diminta Rp30 juta. Disuruh DP Rp10 juta dulu. Belakangan diminta tambah lagi jadi Rp33 juta, katanya untuk tambahan biaya dinas dua juta rupiah,” ungkap Nuryaman kepada awak media.(7/6/2025)
Dari total permintaan itu, Nuryaman mengaku telah menyerahkan Rp21 juta. Uang tersebut diterima langsung oleh Kades Ajat dan dibuktikan melalui kwitansi resmi bertanda tangan serta stempel desa.
Namun hingga berita ini diturunkan, perahu yang dijanjikan tak kunjung datang. Tidak ada tindak lanjut, tidak ada kejelasan, dan tidak ada tanggung jawab. Yang ada justru tekanan.
Lebih mengejutkan, menurut pengakuan korban, setelah mempertanyakan hak mereka, justru muncul tindakan intimidatif dari oknum perangkat desa dan seorang anggota DPRD Kabupaten Sukabumi berinisial AH. Situasi ini memperburuk trauma dan ketakutan di kalangan masyarakat pesisir.
Unsur Gratifikasi dan Jual-Beli Pengaruh
Kasus ini kini ditangani oleh kuasa hukum korban, Efri Darlin M. Dachi, yang menyatakan bahwa perkara ini bukan sekadar penipuan atau penggelapan biasa. Ada indikasi kuat terjadinya gratifikasi, suap, dan jual-beli pengaruh yang melibatkan lebih dari satu aktor.
“Berdasarkan keterangan pelapor, ada korelasi antara permintaan uang dan janji bantuan. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, ini bentuk dugaan gratifikasi yang terstruktur,” kata Efri.
Ia menambahkan bahwa pasal-pasal yang mungkin dikenakan bukan hanya 378 KUHP (penipuan) dan 372 KUHP (penggelapan), tetapi bisa berkembang ke arah dugaan gratifikasi dan suap sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.
“Buying and selling influence atau jual beli pengaruh bisa dikenakan di sini. Apalagi jika benar ada intervensi oknum anggota dewan. Ini sudah masuk ranah penyalahgunaan kekuasaan,” ujarnya.
Wajah Buram Program Bantuan
Apa yang terjadi di Ciemas mencerminkan wajah buram dari banyak program bantuan pemerintah di daerah. Ketika program dirancang untuk rakyat kecil, justru dimanipulasi oleh elite lokal menjadi ladang uang. Kepala desa bukan lagi pelayan masyarakat, tapi menjadi gerbang birokrasi yang harus “dibayar” agar rakyat bisa mendapatkan haknya.
“Ini bukan hanya soal dua nelayan. Ini soal sistem yang memfasilitasi pemalakan atas nama negara,” ujar seorang aktivis lokal yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Tuntutan Keadilan dan Transparansi
Saat ini publik menantikan tindakan tegas dari aparat penegak hukum. Tagar #UsutTuntas dan #TangkapOknumKorup mulai bergema di media sosial. Akun-akun seperti @dedimulyadi71, @polres.sukabumi_ hingga @kejarikabsukabumi mulai ditandai netizen agar segera turun tangan.
Masyarakat berharap penyelidikan kasus ini tidak berhenti pada pelaku lapangan. Perlu ada keberanian hukum untuk menelusuri aliran uang, memanggil oknum legislatif, dan menindak segala bentuk intimidasi terhadap pelapor.
Keadilan untuk nelayan Ciemas adalah ujian bagi negara.
Jika aparat menutup mata, maka pesan yang tersampaikan adalah: menjadi miskin dan jujur di negeri ini hanya akan membuatmu dibungkam.
Sumber: Tim kuasa hukum pelapor EDMD