DPP GAKORPAN Kritik Keras Program Study Tour SMA Dharma Karya UT, Soroti Biaya Fantastis dan Dugaan Pemaksaan yang Tak Pro Rakyat Kecil

  • Bagikan

SUARARAKYAT.info||Tangsel– Forum Diskusi Kebangsaan dan Bela Negara yang digelar Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Anti Korupsi Pejuang Anak Negeri (DPP GAKORPAN) bersama sejumlah tokoh nasional, praktisi hukum, LSM, dan insan pers pada Minggu (28/9/2025) di Kantor Hukum GAKORPAN–GWI, Cirendeu, Tangerang Selatan, memantik sorotan tajam terhadap problematika dunia pendidikan nasional.

Dalam forum bertajuk “Bedah Kasus Krusial: Terobosan Signifikan Sistem Pendidikan Nasional”, para narasumber menguliti praktik study tour berbiaya fantastis yang diprogramkan SMA Dharma Karya UT, Pondok Cabe, Tangsel. Agenda kunjungan siswa kelas XII ke salah satu universitas negeri di Jawa Tengah itu disebut-sebut membebani orang tua, bahkan cenderung memaksa, dengan kutipan biaya jutaan rupiah.

Hadir dalam forum tersebut antara lain:

Dr. Bernard BBBBI Siagian, SH., M.AkP (Ketua DPP GAKORPAN)

Dr. Kristianto Manullang, SH., MH. (Praktisi Hukum GAKORPAN)

Agip Supendi, SH., MH. (Praktisi Hukum DPP GAKORPAN)

Dr. Moses Waimuri, SH., M.Th. (Ketua Aliansi Papua Bersatu NKRI)

Bunda Tiur Simamora (Ketua POSBAKUM LBH PERS Presisi Polri Ratu Prabu 08)

Acara ini turut dihadiri perwakilan Gabungan Wartawan Indonesia (GWI), PPWI, BAKRI, LBH PERS Presisi Polri, serta sejumlah jurnalis dan pegiat masyarakat sipil.

Diduga Kasus biaya study tour SMA Dharma Karya UT mencuat setelah orang tua murid menilai program itu tidak masuk akal, terutama bagi keluarga dari kalangan ekonomi lemah. Pihak sekolah berdalih kegiatan ini demi membuka peluang siswa masuk universitas negeri bergengsi, meski harus ke luar daerah seperti Jawa Tengah, bukan kampus sekitar Jabodetabek.

Pernyataan pihak guru BK yang beredar di grup WhatsApp orang tua siswa mengungkap tiga alasan:

1. Jika hanya kampus sekitar Jabodetabek, siswa sudah bisa ikut expo kampus masing-masing.

2. Alumni yang diterima di luar Jabodetabek lebih banyak sehingga meningkatkan “nilai indeks” sekolah.

3. Semakin banyak alumni diterima di kampus luar daerah, semakin besar peluang adik kelas di kemudian hari.

Namun alasan ini dipandang tidak logis dan justru membebani. Bahkan, Dr. Kristianto Manullang menilai ada indikasi pemaksaan terselubung.

“Jika keluarga tidak mampu, bagaimana nasib anak-anak mereka? Biaya bisa ditekan, kenapa harus memaksa ke luar daerah? Apa manfaatnya untuk siswa, kalau akhirnya hanya jadi ajang plesiran guru dan perangkat sekolah?” tegas Kristianto.

Ia menyarankan agar study tour diarahkan lebih praktis, hemat biaya, dan relevan. Alternatifnya, cukup ke kampus terdekat seperti UI (Depok), UIN Ciputat, UPN Pondok Labu, UNIJA Rawamangun, atau Universitas Terbuka Pondok Cabe, yang tetap memberi wawasan akademik luas tanpa menguras kantong orang tua.

Selain persoalan biaya, forum juga menyoroti risiko study tour jarak jauh: potensi kecelakaan bus, kerawanan perjalanan, serta ancaman sosial lain yang pernah terjadi di kasus serupa, seperti di Depok dan daerah lain.

Menurut GAKORPAN, praktik seperti ini bukan hanya tidak pro rakyat kecil, tapi juga mencerminkan kegagalan sistem pendidikan dalam menjunjung asas keadilan dan keberpihakan.

“Kebijakan yang dibiarkan tanpa kontrol bisa jadi bencana. Ini sama saja membuka peluang tragedi dan melahirkan ketidakadilan,” ujar Dr. Bernard Siagian.

Forum menyepakati bahwa kasus ini harus segera diusut tuntas. DPP GAKORPAN menyerukan kepada Walikota Tangsel, Drs. H. Benyamin Davne, serta Gubernur Banten, Andar Soni, untuk turun tangan menertibkan kebijakan pendidikan yang dinilai diskriminatif dan membebani rakyat kecil.

“Ini momentum keadilan. Pemerintah daerah jangan diam. Harus ada sosialisasi agar sekolah lebih bijak, arif, dan berpihak pada rakyat. Sistem pendidikan harus dikelola dengan pendekatan yang terstruktur, sistematis, dan masif, agar benar-benar mendukung keberhasilan Asta Cita menuju Indonesia Emas 2045,” seruan forum tersebut

Narasi ini menegaskan bahwa pendidikan bukanlah ajang bisnis maupun prestise sekolah. Dengan mengutip semangat UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan UU KIP No. 14 Tahun 2008, para peserta forum menegaskan pentingnya independensi pers sebagai kontrol sosial untuk mendorong transparansi dan keadilan di dunia pendidikan.

Kasus SMA Dharma Karya UT menjadi cermin masalah nasional: biaya pendidikan mahal, kebijakan tidak pro rakyat kecil, dan lemahnya pengawasan.

Seperti ditegaskan GAKORPAN:No Justice, No Action. No Attention, No Education. Pendidikan harus kembali ke hakikatnya: mencerdaskan bangsa, bukan membebani rakyat.

(Dr Bernard)

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *