Suararakyat info.Sukabumi-Mangkraknya proyek Penggantian Jembatan Cipamuruyan kecamatan cibadak kabupaten sukabumi Jawa Barat. yang menelan anggaran fantastis sebesar Rp 18,4 miliar menjadi sorotan tajam publik. Proyek yang bersumber dari Kementerian PUPR, Ditjen Bina Marga, melalui Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional DKI-Jawa Barat, ini seharusnya rampung dalam 191 hari kalender pada tahun anggaran 2022. Namun realitas di lapangan berkata lain.(7/6/2025)
Jembatan tersebut hingga kini belum selesai alias mangkrak. Padahal, infrastruktur jalan dan jembatan adalah urat nadi mobilitas ekonomi dan sosial. Kini, proyek tersebut telah masuk tahap penyidikan oleh Ditreskrimsus Polda Jawa Barat.
Dalam sistem proyek pemerintah, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah tokoh utama yang bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek, mulai dari penunjukan penyedia, pengawasan, hingga pencairan dana. Ketika proyek mangkrak, hampir pasti ada peran atau setidaknya kelalaian dari pihak PPK.
“PPK itu seharusnya bukan sekadar tanda tangan kontrak. Mereka jantungnya pengawasan lapangan. Kalau proyek sebesar ini mangkrak, pasti ada sesuatu yang salah di level pengambilan keputusan teknis,”
Dalam proyek Cipamuruyan, PPK diduga tidak cukup tegas terhadap penyedia jasa yakni PT Karuniaga Intisemesta maupun kepada konsultan supervisi, yaitu PT Winsolusi Konsultan (KSO), PT Adhiyasa Desicon, dan PT Herdia Capter Indonesia. Apakah ada pembiaran, kompromi, atau justru kolusi? Penyidikan akan menjawabnya.
Keterlibatan PPK dalam proyek mangkrak bukan cerita baru. Beberapa kasus serupa pernah mencuat dan membuktikan bahwa PPK bukan hanya saksi, tapi bisa menjadi pelaku:
Labuhanbatu Utara, Sumut (2022) – Proyek jalan senilai Rp 5,9 miliar hanya dikerjakan separuh. PPK terbukti menyetujui laporan palsu dan akhirnya dijerat pidana.
Jalan Katingan, Kalteng (2021) – PPK tetap mencairkan dana proyek meski progres fisik minim. Kasus ini menyebabkan kerugian negara dan menjadi bahan evaluasi nasional.
Sumedang, Jabar (2020) – Proyek Jembatan Jatigede ditemukan bermasalah dalam pengawasan teknis, dan laporan BPK menyebut lemahnya peran PPK sebagai salah satu sebab.
Irigasi Sumba Tengah, NTT (2023) – PPK meloloskan laporan progres fiktif. Proyek gagal fungsi dan kini ditangani Kejati NTT.
Dalam banyak kasus, pola yang sama terulang: PPK memfasilitasi kelonggaran teknis kepada penyedia, menandatangani dokumen meski progres tak tercapai, dan seringkali “menutup mata” terhadap pelanggaran di lapangan. Ada dugaan imbal jasa, tekanan dari atasan, atau bahkan keuntungan pribadi.
Sumber di lingkaran proyek menyebut bahwa dalam beberapa kasus, PPK sering dipilih bukan atas kompetensi teknis, tapi karena loyalitas birokratis. Ini membuka celah kompromi dan penyalahgunaan wewenang.
Proyek Cipamuruyan harus menjadi cermin evaluasi menyeluruh peran PPK di seluruh Indonesia. Sudah saatnya dilakukan reformasi rekrutmen PPK, penguatan sistem audit proyek berbasis digital real-time, serta pelibatan masyarakat sebagai pengawas sosial.
Tanpa pembenahan menyeluruh, proyek-proyek seperti Cipamuruyan akan terus menjadi ladang bancakan uang negara, sementara publik hanya bisa gigit jari melihat jembatan mangkrak yang seharusnya menjadi penghubung harapan.
Masyarakat perlu menyadari bahwa dalam rantai proyek pemerintah, kontraktor tidak mungkin bermain sendiri. Selalu ada “tangan” birokrasi yang meloloskan, mengabaikan, atau justru membuka jalan.
Masyarakat menunggu, apakah kasus Cipamuruyan hanya akan menyasar aktor di lapangan, atau berani masuk ke pusat pengambilan keputusan termasuk PPK sebagai aktor kunci proyek.
Azhar Vilyan
Pengmaat kebijakan publik